DMO).
Namun di balik pencapaian itu, kita dihadapkan pada realitas baru dimana dunia sedang bergerak cepat ke arah energi bersih, investasi global mulai beralih ke sektor rendah emisi, dan Indonesia perlahan kehilangan daya tawar di pasar batubara internasional. Kita tidak bisa menutup mata terhadap tren ini. Yang harus dilakukan adalah mengelola transisi secara cerdas, berpihak pada kepentingan nasional, dan berpikir ke depan.
Saat ini, dua negara menjadi tumpuan utama ekspor batubara Indonesia yaitu Tiongkok dan India. Lebih dari 60 persen ekspor kita terserap oleh dua pasar ini. Tapi, yang harus kita ketahui adalah fakta bahwa posisi kita tetap lemah dalam mempengaruhi dan menetapkan harga. Tiongkok, misalnya, hanya mengandalkan Indonesia untuk sekitar 5% dari total pasarnya. Sementara India, meskipun mengimpor batubara Indonesia dalam volume besar, kini agresif memperkuat produksi domestiknya. Bahkan saat pemerintah Indonesia mencoba menerapkan harga acuan batubara (HBA) untuk ekspor, banyak pembeli tetap memilih indeks lama. Ini membuktikan bahwa dominasi volume tidak serta merta menjamin posisi tawar.
Di saat yang sama, permintaan domestik meningkat. Pemerintah telah menetapkan target DMO 2025 sebesar 239,7 juta ton, naik signifikan dari tahun sebelumnya. Target ini tidak hanya penting untuk menjaga keandalan pasokan listrik dan industri, tetapi juga sebagai bentuk kedaulatan energi nasional. Tantangannya, realisasi DMO kuartal awal 2025 justru menurun dibanding tahun sebelumnya.
Untuk keluar dari jebakan DME) yang sedang akan dibangun di Tanjung Enim. Proyek ini menargetkan kapasitas 1,4 juta ton DME per tahun, dengan investasi sekitar USD 11 miliar yang pendanaanya direncanakan berasal dari DANANTARA. Harapannya, DME bisa menggantikan LPG impor dan memperkuat industri hilir energi nasional.
Namun jalan hilirisasi tidak mudah. Dari sisi pembiayaan, teknologi, hingga pasar produk hilir, semua membutuhkan kolaborasi jangka panjang antara pemerintah, BUMN, dan swasta. Kebijakan fiskal pun diarahkan untuk mendukung upaya ini, mulai dari royalti 0% untuk proyek nilai tambah hingga tax holiday. Di tengah tren global yang enggan membiayai proyek batubara, strategi insentif ini penting agar hilirisasi tetap menarik di mata investor.
Fakta global menunjukkan arah baru. Laporan World Energy Investment 2025 dari IEA mencatat bahwa investasi batubara memang masih tumbuh secara nominal, tetapi laju pertumbuhannya melambat. Proyek-proyek baru kini hanya didorong oleh China dan India, sementara negara-negara Barat mulai menarik diri karena tekanan Environmental, Social, and Governance (ESG). Dalam waktu dekat, pembiayaan proyek batubara akan makin sulit, bukan karena ketersediaan cadangan, tapi karena reputasi dan risiko transisi.
Jika Indonesia tidak segera berbenah, ketergantungan kita pada pasar ekspor bisa menjadi titik lemah. Ketika harga jatuh atau permintaan melambat, sektor ini bisa mengguncang perekonomian nasional. Oleh karena itu, strategi jangka panjang harus dibangun adalah mengendalikan produksi, memperkuat konsumsi domestik, mempercepat hilirisasi, dan mendorong teknologi bersih seperti Clean Coal Technology dan Carbon Capture Storage.
Pemerintah sudah menyatakan komitmen menuju Net Zero Emission 2060. Tetapi komitmen saja tidak cukup. Transisi energi harus disiapkan secara inklusif dan bertahap, tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi dan ketahanan energi. Batubara, dalam konteks ini, bukan untuk ditinggalkan secara tiba-tiba, melainkan untuk ditransformasikan secara strategis. Masa depan sektor batubara Indonesia akan sangat ditentukan oleh kualitas kebijakan hari ini. Kita tidak sedang memilih antara ekspor atau transisi, tetapi sedang membangun jembatan dari masa lalu menuju masa depan energi yang lebih mandiri, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Follow Instagram SINI